Teori – Teori Perkembangan Bahasa

 

Teori – Teori Perkembangan Bahasa

Psikologi Belajar Bahasa

disusun oleh :

  • Yazid hady   

 BAB I

PENDAHULUAN

Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur  untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengindentifikasi diri (Chaer, 2004:1). Bahasa sebagai alat komunikasi manusia menjadi suatu yang penting. Berbagai penelitian dilakukan untuk menemukan darimanakah bahasa itu berasal, bagaimana manusia sejak lahir memperoleh dan mengembangankan bahasa. Dari berbagai penelitian dilakukan dan dikembangkan maka lahirlah berbagai teori tentang perolehan bahasa manusia. Sesungguhnya, para peneliti hingga saat ini masih belum mencapai kesepakatan tunggal tentang asal-usul bahasa. Diskusi tentang asal-usul bahasa sudah dimulai ratusan tahun lalu, bahkan masyarakat linguistik Perancis pada tahun 1866 sempat melarang mendiskusikan asal-usul bahasa. Menurut mereka mendiskusikan hal tersebut tidak bermanfaat, tidak ada artinya karena hanya bersifat spekulasi.

Terlepas dari itu semua, berikut teori yang dikemukakan beberapa tokoh linguis tentang kemunculan bahasa.

  1. F.B Condillac seorang filusuf bangsa Prancis berpendapat bahwa bahasa itu berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-gerik badan yang bersifat naluri yang dibangkitkan oleh perasaaan atau emosi yang kuat. Berikutnya teriakan-teriakan itu bertransofmasi menjadi bunyi-bunyi yang bermakna, lama kelamaan semakin panjang dan rumit.
  2.  Von Schlegel, seorang ahli filsafat bangsa Jerman, ia berpendapat bahwa bahasa-bahasa yang ada di dunia ini tidak bersumber dari satu bahasa. Ada bahasa yang lahir secara Onotape yaitu meniru bunyi-bunyi alam kemudian ada dari kesadaran manusia. Tapi Schlegel lebih menitik beratkan teorinya kepada kesadaran manusia sebagai awal kelahiran bahasa.
  3.  Brooks (1975) mengatakan bahasa itu lahir pada waktu yang sama dengan kelahiran manusia. Dalam hipotesisnya ia mengatakan bahwa bahasa pada mulanya bebentuk bunyi-bunyi tetap untuk menggantikan atau sebagai symbol benda dan lainnya. Berikutnya bunyi itu dipakai secara bersama-sama oleh orang yang berada di tempat itu.
  4. Philip Liberman (1975) menurutnya bahasa itu lahir secara evolusi sebagai yang dirumuskan oleh Darwin (1859) dengan teori evolusinya.Penelitian Antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif meyakini keterlibatan Tuhan atau Dewa dalam permulaan sejarah berbahasa.

Maka dari itu dengan ilmu psikologi dan ilmu linguistic atau psikolinguistik ini  mengkaji bagaimana hakikat dan bagaimana manusia itu memperoleh dan mengembangkan bahasanya. Sehingga lahirnya beberapa teori tentang pemerolehan bahasa. Dalam psikologi terdapat dua aliran yang prinsip dasarnya bertentangan, yakni behaviorisme dan kognitivisme. Kedua aliran tersebut ikut mempengaruhi para ahli pembelajaran bahasa dalam memandang bagaimana seorang anak manusia belajar bahasa.Tentang bagaimana manusia memperoleh atau belajar bahasa,

Dalam makalah ini pemakalah akan menjelaskan :

1. Perkembangan Bahasa menurut Teori Nativisme

2. Perkembangan Bahasa menurut  Teori Behaviorisme

3. Perkembangan Bahasa menurut Teori Kognitivisme

Semoga penyajian makalah ini dapat menjadi sebuah refrensi yang rasional dan objektif dalam memahami mata kuliah Ilmu Lughah an Nafsi (Psikolinguistik) ini. Dan mampu kita manfaatkan dalam proses pembelajaran lain.

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.    Perkembangan Bahasa

kemunculan bahasa dalam pandangan Michael C. Corballis, dimulai dari bahasa isyarat, maka dari itu pernyataan: “pokok bahasa (jauharu al-lughah) ada pada perkataan (kalam)” tidak sepenuhnya benar. Sebab, secara keseluruhan segala sesuatu bermula dari isyarat (ini/itu), terbukti dengan masih adanya beberapa bahasa isyarat yang masih ada sampai sekarang dan dipahami secara alami oleh semua manusia di seluruh dunia, seperti isyarat tangan untuk menunjuk sesuatu, isyarat mata untuk kode tertentu, isyarat kepala untuk mengiyakan sesuatu dan isyarat-isyarat lain yang menunjukkan terhadap kalimat-kalimat tertentu yang lain. Karena hakikat bahasa dalam pandangan Heidegger bukan hanya terfokus pada kata-kata yang dilafalkan (al-manthûq [Arab]/spoken [Inggris]), tapi juga yang diam (al-lamanthûq [Arab]/unspoken [Inggris]) .

Perkembangan bahasa berikutnya muncullah bahasa secara definitif yang terbagi ke dalam beberapa fase, sebagaimana berikut: Fase pertama; adalah bunyi kekanak-kanakan yang muncul mulai dari masa balita, pada saat itu bunyi yang merupakan cikal-bakal bahasa masih belum bisa dipahami secara sempurna, kemudian fase kedua bunyi yang ditangkap dari meniru (muhâkah) dalam bentuk yang paling sederhana, seperti sebutan (maa) atau (paa) bagi anak-anak balita untuk memanggil ibunya atau bapaknya. Fase ketiga adalah bunyi yang berulang-ulang (al-maqâthi’ al-mutakarrir), fase keempat adalah pelafalan kata-kata (dalam bahasa Arab disebut kalimah atau mufradât), fase kelima adalah pembuatan kalimat (jumlah [Arab] dan phrase [Inggris]) serta istilah-istilah dan terahir fase keenam adalah kodivikasi kaidah bahasa (qawâid al-lughah, grammer).[1]

 

  1. B.     Teori Perkembangan Bahasa

Penelitian yang dilakukan terhadap perkembangan bahasa anak tentunya tidak terlepas dari pandangan, hipotess atau teori psikologi yang dianut. Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya tiga pandangan atau teori dalam perkembangan bahasa anak. Dua pandangan yang kontroversial dikemukakan oleh para pakar dari Amerika, yaitu pandangan NATIVISME yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada kanak-kanak bersifat  alamiah (nature), dan pandangan BEHAVIORISME yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada kanak-kanak bersifat “suapan” (nurture). Pandanan ketiga muncul di Eropa dari Jean Piaget  yang berpendapat bahwa pengusaan bahasa adalah kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif, sehingga pandangannya disebut KOGNITIVISME. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat ketiga pandangan tersebut.

  1. Teori Nativisme

Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa.

Nativisme berpendapat bahwa dalam selama proses pemerolehan  bahasa pertama , kanak-kanak (manusia) sedikit demi sedikt membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan. Pandangan ini tidak menganggap lingkungan punya pengaruh dalam pemerolehan bahasa, melainkan menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis, sejalan dengan yang disebut “hipotesis pemberian alam”

Kaum nativis berpendapat bahwa bahasa itu terlalu kompleks dan rumit, sehingga mustahil dapat dipelajari dalam waktu singkat melalui metode  seperti “peniruan” (imitation). Jadi, pasti ada beberapa aspek penting mengenai system bahasa yang sudah ada pada manusia secara alamiah. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Amerika sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya.

Menurut Chomsky anak dilahirkan dengan dibekali “alat pemerolehan bahasa” (language acquisition device (LAD). Alat ini yang merupakan pemberian biologis yang sudah diprogramkan untuk merinci butir-butir yang mungkin dari suatu tata bahasa. LAD dianggap sebagai bagian fisiologis dari otak yang khusus untuk memproses bahasa, dan tidak punya kaitan dengan  kognitif lainnya. [2]

McNeill (Brown, 1980: 22) menyatakan bahwa LAD terdiri dari: (a) kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain, (b) kecakapan mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian, (c) pengetahuan tetang sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkin, dan (d) kecakapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik, dengan demikian dapat melahirkan sistem yang dirasakan mungkin di luar data linguistik yang ditemukan.

  1. b.      Teori Behavioristik

Teori behaviorisme memandang bahwa perilaku manusia merupakan perilaku yang dapat dipelajari dan diamati secara nyata, dan terbentuk karena dipengaruhi oleh factor eksternal (diluar diri manusia). Teori ini kemudian diaplikasikan dalam konsep belajar. Menrut aliran ini, belajar merupakan proses response karena adanya stimulus/rangsangan yang mendorong adanya perubahan perilaku. Stimulus belajar dapat berupa motivasi, ganjaran(reward), hukuman (punishment), dan lingkungan yang kondusif.[3]

Teori Behavioristik pertama kali dimunculkan oleh Jhon B.Watson (1878-1958). Dia adalah seorang ahli psikologi berkebangsaan amerika. Dia mengembangkan teori Stimulus-Respons Bond (S – R Bond) yang telah diperkenalkan oleh Ivan P.Pavlov. Menurut teori ini tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian terhadap prilaku, dan sedikitpun tidak ada hubungannya dengan kesadaran. Yang dikaji adalah benda-benda atau hal-hal yang diamati secara langsung, yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas(respons) [4]

Kaum behaviorisme menekankan bahwa proses bahas pertama kali dikendalikan dari luar si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah bahasa itu menyiratakan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki atau digunakan, dan bukan sesuatu yang dilkaukan. Pedahal bahasa itu merupakan salah satu perilkau, diantara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior), agar tampak lebih mirip dengan perilaku lain yang harus dipelajari.

Menurut kaum behavioris kemampuan berbicara dan memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkunganya. Anak dianggap penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki perana yang aktif di dalam proses perkembangan perilaku verbalanya. Kaum behavioris bukan hanya tidak mengakui peranan akatif si anak dalam proses pemerolehan bahasa, malah juga tidak mengakui kematangan si anak itu. Proses perkemabangan bahasa terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungannya.

Menurut Skinner (1969) kaidah gramatikal atau kaidah bahasa adalah perilaku verbal yang memungkinkan seorang dapat menjawab atau mengatakan sesuatu. Namun, kalau kemudian anak dapat berbicara, bukan lah karena “penguasaan kaiadah (rule-governed)” sebab anak tidak mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara langsung oleh faktor di luar dirinya.

Kaum behavioris tidak mengakui pandangan bahwa anak mengusai kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakan ciri-ciri penting dari bahasa di lingkunganya. Mereka berpendapat rangsangan  (stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa mereka pandang ssebagai suatu kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai ke kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian          S <->R (stimulus- respons) dan proses peniruan-peniruan.[5]

Selanjutnya Bell (1981:24) mengungkapkan pandangan aliran behaviorisme yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimanakah sesungguhnya manusia memelajari bahasa, yaitu:

  1. Dalam upaya menemukan penjelasan atas proses pembelajaran manusia, hendaknya para ahli psikologi memiliki pandangan bahwa hal-hal yang dapat diamati saja yang akan dijelaskan, sedangkan hal-hal yang tidak dapat diamati hendaknya tidak diberikan penjelasan maupun membentuk bagian dari penjelasan.
  2. Pembelajaran itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan, yang diawali dengan peniruan.
  3. Respon yang dianggap baik menghasilkan imbalan yang baik pula.
  4. Kebiasaan diperkuat dengan cara mengulang-ulang stimuli dengan begitu sering sehingga respon yang diberikan pun menjadi sesuatu yang bersifat otomatis.[6]
  1. Teori  Kognitivisme

Jean piaget (1954) menyatakan bahwa bahasa itu bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar; maka perkembangan bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urut-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa.

Chomsky pernah menyanggah konsep kognitivisme dari Piaget ini. Beliau menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas itu. Begitu juga lingkungan berbahasa tidak dapat menjelaskan struktur yang muncul di dalam bahasa anak. Oleh karena itu, neburut Chomsky, bahasa (sturktur atau kaidahnya) haruslah diperoleh secara alamiah.

Sebaliknya, Piaget menegeskan bahwa sturuktur yang kompleks dari bahasa bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam, dan bukan pula sesuatu yang dipelajari dari lingkungan. Struktur bahasa itu timbul sebagai akibat interaksi yang terus-menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dengan lingkungan kebahasaannya (juga lingkungan lain). Struktur itu timbul secara tak terelakan dari serangkaian interaksi. Oleh karena itu timbulnyatak terelakan, maka struktur itu tidak perlu tersediakan secara alamiah.

Kalau Chomsky berpendapat bahwa lingkungan tidak besar pengaruhnya pada proses pematangan bahasa, maka  Piaget berpendapat bahwa lingkungan juga tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak. Perubahasn atau perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada keterlibatan anak secara akatif dengan lingkungannya.

Bagaimana hubungan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa pada anak dapat kita lihat dari keterangan Piaget mengenai tahap paling awal dari perkembangan intelektual anak. Tahap perkembangan dari lahir sampai usia 18 bulan oleh Piaget disebut sebagai tahap “sensori motor”. Pada tahap ini dianggap belum ada bahasa karena anak belum menggunakan  lambing-lambang ungtuk menunjuk pada benda-benda di sekitarnya. Anak pada tahap ini memahami dunia melalui alat indranya (sensory) dan gerak kegiatan yang dilakukannya (motor). Anak hanya mengenal benda jika benda itu dialaminya secara langsung. Begitu benda itu hilang dari penglihatannya maka benda itu dianggap tidak ada lagi. Menjelang akhir usia satu tahun barulah anak itu dapat menangkap bahwa objek itu tetap ada (permanen), meskipun sedang tidak dilihatnya. Sedang dilihat atau tidak benda itu tetap ada sebagai benda, yang memiliki sifat permanen.

Sesudah mengerti kepermanenan objek anak mulai menggunakan symbol untuk mempresentasikan objek yang tidak lagi hadir di hadapannya. Symbol ini kemudian menjadi kata-kata awal yang diucapkan si anak. Jadi, menurut pandangan kognitivisme perkembangan kognitif harus tercapai lebih dahulu; dan baru sesudah itu pengetahuan itu dapat keluar dalam bentuk ketrampilan berbahasa.[7]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III
PENUTUP

Setelah pengkajian dari ketiga teori perkembangan bahasa diatas, maka ketiga teori tersebut tidak ada yang salah karena teori-teori tersebut berbeda hanya pandangannya dan hanya saja terdapat beberapa kekurangan untuk menggunakan teori tersebut. Dengan kekurangan tersebut maka kita dituntut inovatif disaat pengaplikasian teori tersebut dalam mengajar dan belajar bahasa.

Teori Nativisme, dapat dibenarkan dari sudut pandangnya bahwa anak lahir ke dunia telah membawa kapasitas atau potensi bahasa yang turut menentukan struktur bahasa yang akan mereka gunakan. Proses akusisi bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapi karena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan intelektualnya.

Sama halnya dengan Teori Behaviorisme mengemukakan bahwa tidak ada struktur linguistik yang dibawa anak sejak lahir. Anak yang lahir dianggap kosong dari bahasa, tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa. Sistem respon diperoleh manusia melalui sistem membiasakan atau pengulangan-pengulangan. Dengan demikian, anak harus diajarkan bahasa.

Sedangkan Teori Kognitivisme dianggap benar dari sudut pandanganya bahwa perkembangan bahasa anak dipengaruhi oleh faktor Internal(di dalam diri manusia) dan faktor eksternal (lingkungan) yang keduanya saling mendukung dan penting bagi perkembangan bahasa anak. Sehingga menekankan pada hubungan antara bahasa, berpikir, dan pengalaman. Perspektif kognitif menyarankan bahwa elemen dasarnya adalah interaksi dari anak, bahasa, dan lingkungan.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Chaer, Abdul, (2003) Psikolinguistik kajian teoritik, Jakarta :  PT Rineka putra.
  • Nasywati, Abdul Majid, (1993) ‘ilm al-nafs al-Tarbawiy, Beirut: Dar al-Furqan wa

Mu’assasah al-Risalah


[1] http://anoeh.multiply.com diakses pada tanggal 17 Maret 2012

[2] Abdul chaer, Psikolinguistik kajian teoritik, Jakarta :  PT Rineka putra, 2003. Hal. 221-222

[3] Abdul Majid Nasywati, ‘ilm al-nafs al-Tarbawiy, Beirut: Dar al-Furqan wa Mu’assasah al-Risalah, 1993. Hal. 319

[4] Abdul chaer, Psikolinguistik kajian teoritik, Jakarta :  PT Rineka putra, 2003. Hal. 87

[5] Ibid. Hal.222-223

[6] http://massofa.wordpress.com/2008/01/24/menengok-bahasan-psikolinguistik/ OLEH PAKDE SOFA diakses pada tanggal 18 Maret 2012

[7] Abdul chaer, Psikolinguistik kajian teoritik, Jakarta :  PT Rineka putra, 2003. Hal.223-224

Leave a comment